Perubahan sistem pola kehidupan dari sistem sederhana ke sistem Industrialisasi sebagai sebuah konsep yang menunjuk pada suatu sistem produksi yang mencakup berbagai teknologi modern, memang bertujuan untuk melipatgandakan produksi serta meminimumkan eksploitasi sumberdaya fisik manusia.
Tak terkecuali di Indonesia, sejak zaman kolonial teknologi telah digunakan untuk memperkuat kuasa penjajah, dan penggunanya di dorong untuk merasa cukup menjadi pengabdi bagi kepentingan kolonial. Kemudian kita merdeka, dan pengaruh teknologi terhadap pertumbuhan industrialisme juga mengalami perkembangan yang dapat dilacak sejak: pertama, ekonomi primer dengan produksi bahan makanan; kedua, ekonomi sekunder dengan produk manufaktur; dan ketiga, ekonomi tersier dengan produk jasa dan pelayanan. Ketiga perkembangan tersebut masih berjalan dan kita alami bersama di tanah air.
Hal yang perlu diingat bersama, bahwa masyarakat kita yang plural tak hanya Sara-nya saja, melainkan juga pola hidup dan kultur yang melekat pada dirinya. Di kota besar dan modern, banyak kaum profesional dan eksekutif hidup dengan gaya kosmopolitan dan serba wah, sementara masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di pedalaman dengan kehidupan yang sangat bersahaja. Walhasil, dunia gemerlap dan kesederhanaan itu hidup dalam satu kurun yang sama. Walau sangat
ironis, kita tak perlu malu mengahadapi kenyataan tersebut. Dalam kenyataan seperti itulah kita membincangkan iptek, bukan dengan mengajak kebanyakan saudara kita yang bersahaja itu berlari kencang atau terbang tinggi, sebagaimana yang diterapkan orde baru dengan teknologi tingginya. Dan ternyata, memang gagal dan membawa beban yang tak tertanggung.
Selengkapnya...
Senin, 26 April 2010
Menggagas Masa Depan
Mencari Inspirasi
Mencari Inspirasi... apa yang akan diisikan dalam selah kekosongan kolom ini... tidak tahu harus memulai dari mana, tidak tahu harus menulis apa belum ada inspirasi..
Selengkapnya...
Rabu, 21 April 2010
Seperti Kita Tak-Bisa Menunda
Ada sebuah pertimbangan bahwa irama dan nada-nada kehidupan semakin cepat, dan bagi siapapun waktu menjadi semakin terbatas, berjuta peristiwa............ (wah... ada panggilan besok sambung....)
Selengkapnya...
Selasa, 20 April 2010
Song a bird
Abrahamic Religions
Abrahamic Religions
"For a Humanity and Tolerance”
Writer By : Harees Ref S.Th.I
Paper as dedicated for discusion Centre for Interreligious Studies (CIRėS)
Hampir semua peradaban besar yang pernah tumbuh di muka bumi pada mulanya dimotivasi oleh keyakinan agama.
Agama adalah bentuk yang paling awal dan tidak langsung dari pengetahuan diri manusia. Tantangan agama di tengah perkembangan dunia kontemporer sekarang ini, tidak bisa dijawab dengan seenaknya, namun dibutuhkan pemikiran yang matang agar fokus perhatiannya menjadi lebih transparan. Terhadap persoalan-persoalan yang ada dewasa ini, agama perlu "keluar dari cirinya sendiri untuk mengenali problem di dalam maupun di luar.
Abrahamic Religions, atau yang sering disebut agama Yahudi, Kristen dan Islam meyakini mereka adalah sama-sama keturunan Nabi Ibrahim. Kaum Yahudi, Kristen dan Muslim semua meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan diri-Nya dan langsung ikut campur dalam urusan manusia di beberapa peristiwa yang kemudian langsung menjadi sejarah penyelamatan. Agama Yahudi, Kristen dan Islam memiliki kemiripan telak di dalam gagasan tentang Tuhan, meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan. Mereka juga mempunyai teologi-teologi kontroversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang bervariasi tentang tema-tema universal ini memperlihatkan kreatifitas dan imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamnnya tentang Tuhan dan agamanya.
Agama Yahudi, Kristen dan Islam juga sering diwarnai konflik, konflik ketiga tradisi Ibrahim (monotheis) ini misalnya terjadi di Timur Tengah dalam perebutan kota suci Yerusalem yang mengakibatkan perang besar (Perang Salib). Hingga memunculkan semangat baru yang memuaskan dalam agama dengan mencari cara baru untuk menjadi religius. Salah satu dari eksperimen ini seberapapun tampak paradoksnya adalah fundamentalisme.
A. Embriologis/Kronologis/Geneologis Abrahamic Religions
Abrahamic Religions (Yahudi, Kristen dan Islam) sebagai agama-agama yang bersumber kepada Ibrahim. Dan saat ini dunia menampung 1,4 milyar juta umat Kristiani, 800 juta jiwa umat Muslim dan hanya 12 juta umat Yahudi di sepanjang kawasan diaspora, kaum Yahudi adalah minoritas kecil di antara budaya-budaya besar non Yahudi, Israel adalah negara-negara kecil yang di kelilingi sejarah negara-negara Arab yang luas, jumlah penduduk Yahudi saat ini kurang dari seperempat penduduk dunia dan sudah barang tentu pengaruhnya teramat kecil.
Menurut masyarakat Ibrani (Yahudi), nabi Ibrahim a.s adalah figur terpenting bagi bangsa Ibrani ia adalah bapak dari serentetan anak-anak yang kesemuanya memiliki hubungan kuat dengan Ilāh. Ia dan tempat tinggalnya dikembalikann pada kota Ur-Kasdim di pesisir sungai Efrat. Ia beserta seluruh kaumnya meninggalkan tempat tinggalnya, kota Ur di Irak kuno, menuju tanah Kanaan yang diduga sebagai tanah Palestina sekarang. Di Kanaan ia bertemu dengan Tuhannya, yaitu Tuhan yang dalam nama Taurat dikenal dengan nama Eli atau El dari Ibrahim kemudian diyakini Musa sebagai Nabi keturunannya yang akan membawa kesejahtraan bagi orang Yahudi.
Posisi nabi Ibrahim bagi orang-orang Kristen tidak kalah tinggi di banding dengan pemosisian orang-orang Yahudi atasnya, karena Injil Matius menegaskan bahwa Ibrahim (Abraham) adalah kakek tertinggi Yesus Kristus. Bahkan sejak awal, Matius menyebut Injilnya sebagai “Kitab (silsilah) Yesus Kristus anak Dāūd, anak Abraham (Matius 1:1)”
Bagi umat Islam, Ibrahim adalah kekasih Allah (Khalilullāh) sang nabi yang mulia dan bapak para nabi keseluruhan. Dari tulang rusuknyalah lahir secara turun temurun anak, cucu, dan cicit, dengan membawa benih kenabian (nūbūwāh), sehingga mereka bisa dibilang mata rantai para nabi. Al-Qur’an (QS. al-Ankabut 29: 27) dan (QS. An-Nisa 4:125).
B. Titik Temu/Hubungan Abrahamic Religions
Agama Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki banyak unsur titik temu selain dari titik seteru. Ada banyak sekali kesamaan terkait dengan isi kitab suci maupun kisah tentang para nabi. Ketiga agama besar ini pun sama-sama menandaskan bahwa ketaatan sejati terhadap wahyu Ilāhi harus dilambari hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama manusia.
Dalam Agama Islam, Kristen, dan Yahudi (Abrahamic Religions) Nabi Ibrahim a.s. adalah figur penting bagi agama-agama besar di dunia. Ketiga agama ini menyandarkan diri secara penuh atas eksistensi Ibrahim sebagai panutannya. Dalam ketiga agama ini, Ibrahim diyakini sebagai sosok pahlawan yang menjadi peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi sosial yang berkeadilan. Bagi ketiga agama ini pula, Ibrahim diyakini sebagai kekasih Tuhan, manusia pilihan yang menegakan ajaran Tuhan di bumi. Pengukuhan atas Ibrahim ini bukan hanya terbatas pada tradisi lisan, tetapi secara langsung berada pada titik jantung agama, yaitu termuat dalam kitab sucinya masing-masing; Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dalam kitab suci itulah ketetapan-ketetapan Ibrahim secara langsung terpaparkan.
Kemudian ketiga agama ini juga menyatakan tentang keimanan mereka terhadap konsep keTuhanan yang sama yaitu monoteis sebagai bentuk kepercayaan baru mereka terhadap Tuhan sangat berbeda bila dibandingkan dengan kepercayaan yang ada sebelum datangnya ketiga agama tersebut. Walaupun dalam pernyataan-pernyatan konsep dan nama sebutan yang berbeda.
C. Titik Tengkar/Benturan Abrahamic Religions
Abrahamic Religions dan Titik Tengkar/Benturan yang kerap terjadi dantara merka terjadi karena adanya “truth calim”. Umat Yahudi mengakui bahwa dialah umat yang terahir dan terpilih selain mereka adalah sesat dan kafir. Umat Kristen mengakui Yahudi adalah masa lalu mereka dan Kristen adalah penyempurna Yahudi dan merekalah umat yang terbaik dan terakhir. Namun umat Islam menyatakan bahwa merekalah umat yang terakhir dan sebagi umat penyempurna dari Yahudi dan Kristen sehingga menyatakan bahwa merkalah yang paling benar. Dan pada akhirnya melahirkan sebuah kepercayaan yang melahirsebuah titik tengakar/benturan dalam Abrahamic Religions diantaranya :
1. Jerusalem (Satu Kota Tiga Iman) Kota Suci
Bagi pemeluk agama Yahudi, Jerusalem (tanah suci) dianggap sangat penting, karena pemeluk agama Yahudi beranggapan bahwa Jerusalem adalah tanah milik nenek moyang mereka, yang diwariskan kepada mereka. Lebih dari itu, mereka juga berasumsi bahwa Jerusalem merupakan tanah yang dijanjikan Tuhan kepada penduduk Kanaan sebuah nama dalam sejarah awal Jerusalem, yang saat ini menjadi Israel moderen-yang disampaikan Tuhan melalui nabi mereka, hingga pada akhirnya dikenal dengan istilah “tanah perjanjian”. Atas dasar keyakinan tersebut, kaum Yahudi berpandangan bahwa merekalah yang paling berhak menempati kota itu, mengingat di situ terdapat sebuah kuil yang dibangun oleh nabi mereka, yang telah dipilih Tuhan sebagi penyelamat kaum Kanaan waktu itu
Demikian juga dengan agama Kristen, mereka beranggapan bahwa kota itu adalah tempat kelahiran Yesus, sekaligus tempat Yesus disalib, dan merupakan tempat paling suci dari tempat manapun, sebab umat Kristen beranggapan, Jerusalem adalah sebuah tempat dimana Yesus dimakamkan. Sehingga mereka merasa behwa kota tersebut adalah kota suci mereka, dan ada sebagian dari merka yang memiliki pengabdian paling fanatik terhadap kota suci itu karena tafsir fisik (pemahaman akan doktrin) mereka akan kesucian. Karenanya mereka menyatakan paling berhak atas kota tersebut.
Namun, tidak semua umat Kristen setuju akan anggapan-anggapan dan praktik-praktik keagamaan, ibadah yang dilakukan oleh sebagian umat Kristiani lainya di kota tersebut. Buktinya, meskipun sebagian komunitas Kristiani ini juga mempunyai anggapan yanag sama tentang kesucian kota tersebut, akan tetapi mereka-komunitas Kristen yang memisahkan diri dari doktrin greja yang ada pada waktu itu, komunitas ini disebut dengan Kristen Protestan meniadakan ziarah ke tempat-tempat suci dan tempat itu, sebab, mereka menganggap pengabdian atas Jerusalem yang berlebihan sama halnya dengan pemujaan berhala.161
Sedangkan pemeluk agam Islam, merasa berhak memiliki kota itu, sebab mereka meyakini kebenaran peristiwa ‘Isrā’ Mi’rāj nabi Muhammad, yakni perjalanan semalam nabi dari Masjid al-Haram di Makah ke Masjid al-‘aqśā di Jerusalem, dan diteruskan perjalanan menuju langit, selain itu, umat Islam juga memegang teguh ajaran sejarah agama mereka, yang mengajarkan bahwa sebelum Ka’bah, Kiblat umat Islam adalah Bayt al-Maqdis, yang terletak di Jerusalem. Karena itu, mereka kemudian sangat yakin bahwa Jerussalem merupakan tanah suci ke tiga umat Islam -setelah kota Makah dan Madinah yang kemudian di kenal dengan istilah “Al-Quds.
2. Perang Salib (Sebuah Perang Mencari Jati Diri)
Perang Salib memang telah menjadi sebuah ikon buram dalam sejarah hubungan Muslim, Kristen dan Yahudi sepanjang sejarah meskipun sebenarnya telah berlalu, Perang Salib telah meninggalkan ingatan kolektif, sekaligus pengalaman traumatik bagi kedua belah pihak, hingga hari ini, torehan dan episode persetruan panjang itu menjadi luka kolektif yang tak kunjung tersembuhkan. Torehan luka kolektif itu tampak dengan adanya prasangka, kesalahpahaman dan kekhawatiran terhadap pihak lain yang melahirkan pencitraan baru bagi yang lain, akibatnya luka kolektif itu terus mengganggu upaya-upaya untuk mengembangkan hubungan yang harmonis bahkan luka kolektif itu sudah menjadi magma laten yang siap menghasilkan konflik yang lebih dahsyat lagi. Perang Salib telah banyak berpengaruh terhadap pola pandang dan cara pikir Islam dan Kristen dalam bidang hubungan keberagamaan.
Perang salib bukanlah gerakan kecil di Abad pertengahan. Perang salib justru merupakan hal pokok bagi proses pembentukan identitas baru, orang-orang Barat, yang membuka jalan ke masa kini dan membuka jalan hingga hari ini. Perang salib juga menampilkan wajah terburuk agama.
Perang Salib telah menyeret ketiga agama Semit dalam sebuah jalinan akut yang begitu rumit, yang pada tingkat tertentu menempatkan kelompok agama lain sebagai penghalang terpenuhinya nubuat penyelamatan versi agama mereka.
Perang salib, demikian menurut sudut pandangan Barat, merupakan serangkaian operasi militer paling sedikit terjadi atas delapan babak, yang didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen dan terutama Yerusalem masuk ke dalam wilayah perlindungan mereka. Bagi pihak barat Perang Salib di mulai tahun 1095, ketika Paus Urbanus II menyerukan maklumat perang sucinya yang terkenal sampai abad ke lima belas dan bahkan abad selanjutnya, meskipun banyak yang berpendapat bahwa penaklukan Acre pada 1291 merupakan akhir usaha keras Tentara Salib melawan Negara-negara Islam di sepanjang Mediterania Timur.
Sebagaimana begitu banyak konflik moderen lainya, tidak sepenuhnya gerakan rasional dan dapat dijelaskan dengan sudut pandang ekonomi murni atau ambisi territorial, atau oleh sebuah pertentangan hak dan kepentingan. Perang salib, di semua pihak, dibakar oleh berbagai mitos dan gairah yang jauh lebih efektif dalam membuat orang bertindak dari pada motivasi politik murni apa pun. Perang-perang suci abad pertengahan di Timur Tengah tidak dapat diatasi oleh perjanjian-perjanjian rasional atau penyelesaian-penyelesaian kewilayahan yang rapi. Gairah-gairah mendasar dilibatkan yang berkaitan dengan identitas kaum Kristen, kaum Muslim dan Yahudi dan yang disucikan bagi identitas mereka masing-masing. Gairah tersebut tidak berubah banyak di perang suci masa kini. Dan dalam perang salib terdapat keterkaitan erat antara Perang Salib di abad pertengahan di Tanah Suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di Timur Tengah saat ini.
3. Fundamentalisme Agama (Berperang Demi Tuhan Gaya Baru/Modern)
Fundamentalisme dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam menjadi buah bibir yang tak pernah lekang. Pasalnya, sebagian kalangan meyakini bahwa fundamentalisme menjadi sumber konflik dalam masyarakat yang beragam. Fundamentalisme dimaknai sebagai pemikiran hitam putih yang tak ada ruang di antaranya. Setiap agama sebenarnya mengajarkan fundamentalisme, baik Islam, Yahudi, maupun Kristen. Fundamentalisme ini dimaknai sebagai ajaran dasar yang menjadi tuntunan dan pedoman dalam kehidupan keberagamaan. Seluruh umat beragama akan tunduk dan patuh menjalankan ajaran dasar ini. Dengan demikian, fundamentalisme merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan yang berlebihan dalam beragama.
Fundamentalisme terdapat di semua ajaran agama. fundamentalisme adalah warisan inheren dan absah dalam tradisi agama-agama, khususnya agama semitik. Yahudi, Kristen, dan Islam sama-sama mempunyai pengalaman dan tradisi fundamentalisme. Karena itu, menguatnya arus fundamentalisme agama-agama di belahan dunia meruntuhkan pelbagai macam tesis dan pandangan. Kemodernan dianggap akan dapat menggeser posisi fundamentalisme, tapi pada akhirnya harus menerima fundamentalisme sebagai fakta sosial. Bahkan boleh dibilang bahwa posisi fundamentalisme dan kemodernan bersifat sejajar.
Menurut Hugh Goddard, “Fundamentalisme” (disini dibubuhkan tanda petik dua hingga saampai pada definisi yang pasti karena pada masa sekarang istlah itu digunakan secra luas dalam kaitanya dengan fundamentalisme Muslim, Yahudi dan Kristen dan yang lain. Dengan memiliki banyak arti tersebut apabila istilah itu tidak didefinisikan secra pasti, maka tidak akan banyak berguna). Semua arus setudi akhir-akhir ini memusatkan pada masalah ini. “fundamentalisme” pada dasarnya digunakan dalam arti yang berbeda: Pertama, “fundamentalisme”dalam arti teologis, menunjukan khusus pada pandangan tertentu mengenai kitab suci dan bagaimana panadangan itu terbentuk. Kedua “fundamentalisme” digunakan dalam arti filosofis. Disini menunjukan pada sikap bermusuhan terhadap penggunaan metode kritis untuk mendekati studi kitab suci. Ketiga “fundamentalisme” dalam aspek sosiologis yang terkait dengan fenomena sektarianisme atau keanggotaan dalam suatu kelompok dimana orang-orang yang ada diluar dia dianggap bukan “orang beriman yang sebenarnya”. Keempat “fundamentalisme” digunakan dalam arti histories yang berarti “keagamaan konservativ” atau kembali pada suatu asal usul keimanan, “kembali pada suatu fondasi” (fundamental) adalah seruan yang utama. Dan, Last but not the least, “fundamentalisme” sering digunakan dalam arti politik, yakni menunjukan suatu usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama. Disini ironinya adalah bahwa pemakaian kata “fundamentalisme” yang menunjukan pada gerakan politik hampir tidak memperhatikan semua paket pandangan dari gerakan ini satu-satunya kriteria biasanya adalah kemanfaatan atau kemudharatan mereka bagi Barat.
“fundamentalisme” merupakan suatu kata yang digunakan dalam berbagai cara, dan beberapa penjelasan konteks tertentu perlu diberikan jika kata itu hendak digunakan. Istilah itu sering sekedar singkatan untuk kelompok obskurantis/otoritarian, membabi buta/berpendirian keras, arogan eksklusif, berpandangan kebelakang/nostalgic, dan subversive/reaksioner (tergantung sudut pandangnya), sesuai dengan kelima aspek.
Fundamentalisme agama akan sangat tidak terkontrol apabila ingatan-ingatan kolektif tentang goresan luka lama/sejarah peradaban yang tercoreng (perang salib) dalam Abrahamic Religions tidak segera dibenahi dengan upaya-upaya dialog/rekonsiliasi yang bertujuan memberikan kedamaian, keadilan, kesejahtraan, kebersamaan dan semua kata indah lainya bagi kemanusiaan.
Coment.
Dalam pergaulan di masyarakat yang sangat beragam, pemeluk agama mestinya mengedepankan ajaran-ajaran universal yang ada di dalam ajaran agamanya. Di antaranya adalah ajaran tentang keadilan. Bukankah semua agama juga mengajarkan tentang keadilan. Juga upaya untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang harmonis.
Kemudian maningkatkan sikap saling menghormati dan saling berdialog dapat muncul diantara kaum Yahudi, Muslim dan Kristen, jika saja idealisme religius tidak menghalangi mereka
Topik agama-agama menjadi sangat penting untuk terus dikembangkan dalam rangka menemukan suatu relasi yang kondusif di dunia. Kajian itu tidak hanya sebatas pada pandangan Barat tetapi juga perlu dikembangkan perspektif dari Timur khususnya Islam yang memang mempunyai perbedaan sejarah dan kultural yang berbeda dengan Barat. Agar dapat menemukan sebuah titik temu yang lebih objektif.
CIReS yang memegang prinsip atau paradigma keilmuan yang integralistik menjadi sangat penting untuk mengembangkan suatu wacana yang beragam dalam hubungan antar agama-agama. CIReS seharusnya menjadi lembaga/badan yang bisa mengkampanyekan hubungan tersebut dalam bingkai agama-agama di dunia.
Writer is : A Leader Division Perss
Centre for Interreligious Studies (CIRėS)
Selengkapnya...
Diskusi di JMC/Gedung Dewan Pers
Jakarta Pusat, Minggu 18 April 2010. Acara diskusi berlangsung di Gedung Jakarta Media Centre (JMC)/Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dihadiri sejumlah narasumber dari kalangan aktivis, akademisi, penggiat LSM serta jaringan `civil society` lainnya. Hadir juga dalam acara tersebut antara lain Direktur Reform Institute, Yudi Latief, anggota DPR yang menggalang dukungan untuk mengajukan hak menyatakan pendapat. Mereka di antaranya Maruarar Sirait (PDIP), Bambang Soesatyo (Golkar), dan Lily Chadijah Wahid (PKB).
Selasa, 13 April 2010
DEKLARASI MERDEKA
Bangsa Indonesia dalam persimpangan jalan untuk menentukan pilihan : Apakah kita akan membiarkan situasi yang merendahkan nilai kemanusiaan dan menista kehormatan bangsa, atau membangun kembali kehidupan kebangsaan yang beradab dan bermartabat. Manusia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa Kemerdekaan, persamaan hak, dan martabat, sebagai hak asasi. Karena itu kita memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jalan kehidupan besama. Kita menolak sikap netral dan bebas nilai tatkala perkara keadilan dan nasib bangsa serta masa depan anak cucu kita dipertaruhkan, sebab hal itu, berarti kita mendukung kelanjutan situasi yang ada.
Kita harus memilih.
Kami berhimpun untuk menegaskan pilihan kolektif kita, untuk berkata tidak kepada penistaan kehormatan dan martabat bangsa. Sebagai bangsa kita harus berkata tidak,terhadap kecenderungan menyembah harta benda dan mendahulukan kepentingan sempit. Kecenderungan itulah yang membawa kemerosotan akhlak, kekerasan sosial dan penistaan martabat kemanusiaan, dalam persaingan tanpa moral dan hukum memperebutkan harta benda dan kekuasaan semata.
Kita telah menetapkan pilihan untuk membangun kehidupan kebangsaan dengan berdasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita menegaskan pilihan kita untuk menjunjung tinggi nilai persamaan dalam semangat kemanusiaan dan kebersamaan sebagai bangsa tanpa membedakan asal usul keturunan, etnis, suku, dan keyakinan agama maupun kelas ekonomi. Kita sadar bahwa persamaan sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab tidak terselenggara tanpa tindakan, tanpa perjuangan bersama. Karena itu kita harus melaksanakan tindakan bersama dengan landasan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa untuk merubah keadaan.
Kita harus mewujudkan semangat kerakyatan sebagai landasan system kehidupan politik dan ekonomi nasional, untuk mempercepat proses pembebasan bangsa dari kemiskinan dan keergantungan. Dengan dasar itu pula kita mewujudkan persaudaraan sesama bangsa atas dasar persamaan dan keadilan, membangun kesejahteraan sosial. Dengan pendirian tersebut, kita menegaskan penolakan kita terhadap praktek pemusatan kekuasaan politik dan ekonomi, atas nama stabilitas atau pembangunan atau atas nama apapun. Serba pemusatan yang tejadi selama inilah akar ketidak-stabilan dan konflik sosial yang berujung kepada gagalnya usaha mewujudkan keadilan sosial dan pembagunan sejati yang didasarkan peran serta seluruh rakyat. Kesenjangan yang melebar antara sedikit orang yang kaya dan cenderung bertambah kaya dan sebagian besar rakyat yang miskin yang makin terjebak tanpa daya dalam lingkaran kemiskinan, memunculkan keresahan dan ketegangan sosial dan amarah rakyat terhadap situasi ketidakadilan yang berkelanjutan dengan segala akibatnya yang menumpuk. Kesenjangan yang sama juga terjadi antara desa dan kota serta antar daerah. Situasi tersebut menciptakan kecenderungan terjadinya disintegrasi sosial dan semangat kedaerahan yang berlebihan bahkan gerakan sparatis. Pada gilirannya hal itu mengancam keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketidak-adilan sosial dan kemiskinan missal yang menyertainya, adalah tantangan dan tugas besar kebangsaan kita. Potensi kemanusiaan dari bangsa dengan penduduk besar di Negara berlimpah sumber daya ala mini, sesungguhnya adalah dasar kokoh untuk membangun bangsa yang maju, modern, dan jaya. Namun itu semua tidak berfungsi alam situasi kepincangan sosial yang berkelanjutan tanpa koreksi berarti selama ini.
Akibatnya terjadi proses yang meluas dari pemiskinan missal dan makin parahnya ketertinggalan danketerbelakangan sosial disbanding bansa lain. Ketergantungan menjadi keniscayaan, bahkan untuk urusan primer seperti kecukupan pangan. Kini negeri kita nyaris karam dalam hutang yang menmpuk, menjadi obyek olok-olok dan propaganda kedermawanan pihak asing, yang disaat bersamaan memangsa secara besar-besaran kekayan dan asset nasional, lantaran kelemahan kita.
Karena itu kami bertekad untuk membangun kemandirian. Kami percaya Bangsa Indonesia mampu membangun kemandirian. Kita harus bekerja kearah itu, tidak boleh meneruskan situasi ketergntungan asing yang berkelanjutan. Tanpa kemandirian posisi bangsa akan lemah dalam dunia yang terbuka dan syarat persaingan.
Kehidupan antar bangsa yang terbuka justru harus mendorong tekat untuk membangun pula kekuatan, agar terjadi kesetaraan dalam dunia yang saling bergantung. Kita harus mengatasi posisi bergantung yang melemahkan posisi tawar bangsa dalam pergaulan internasional. Lebih dari itu, kemandirian adalah dasar dari kehormatan dan matabat bangsa. Bangsa yang tergantung kepada sumber daya asing, menjadi obyek belas kasih pihak asing dan mengemis utang saban tahun, tidak mungkin menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat. Kita lantas hanya menjadi bangsa pinggiran yang dinista, menjadi kuli di negeri sendiri dan di negeri orang.
Bangsa Indonesia harus bertekad membangun kekuatan di semua bidang. Kita mengatakan tidak kepada kelemahan dan kepada ketergantungan asing. Dengan kemandirian, bangsa Indonesia harus mampu membengun kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa untuk berperan secara terhormat. Dengan kemandirian pula kita dapat ikut memberikan sumbangan bagi terwujudnya tata dunia yang damai dan berkeadilan. Dengan tekad itu kita membangun pula hubungan antar bangsa semangat persaudaraan inter nasional untuk mencegah dominasi politik dan penghisapan ekonomi, mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara dan bangsa Indonesia. (Salam Merdeka...) klik
Selengkapnya...